23 Januari 2010

CATATAN HATI

Melupakan dia adalah hal termustahil yang selalu dengan tekunnya kucoba. Tak membuahkan hasil. Laku-ku ini seperti hendak membuat sesuatu yang solid dengan menggunakan bahan dasar air. Bagaimanapun kerasnya usahaku, tak sedikitpun dukungan mengalir untukku, baik dari alam bawah sadar maupun dari memoriku yang paling dalam. Organ-organ tubuhku tak mau diajak berbohong, yang memang selalu kutampakkan di permukaan. Sok tegar! Lelah tubuh dan hatiku, menangisinya berulang-ulang, mengharapkannya akan menjadi takdir yang paling manis bagiku. Bagaimana bisa terjadi, sementara kecongkakanku telah melebihi batas paling ujung bumi, melulu tak bisa berendah hati untuk sedikit berjuang meraih dia, yang selalu menjadi aktor utama di mimpi-mimpiku yang nampaknya akan bersambung dalam episode yang cukup panjang. Selalu tentang dia, selalu mengarah padanya, tanpa henti. Tak tahu berawal darimana, rasa ini mendalam bahkan ketika sebuah jarak membentengi. Harapan akan dia tak pernah pupus, damba terhadapnya tak pernah sedikitpun surut. Apakah ini hanya obsesi atau ambisi belaka, aku tak tahu. Aku tak pernah benar-benar memikirkan termasuk dalam kategori apakah suka-ku terhadapnya. Yang pasti, kini semakin terkuak jelas, bahwa cintaku - seperti yang afgan bilang dalam lagunya – bukan cinta biasa, memang nyata demikian.
Aku jadi ingat, pertemuan pertamaku dengannya di malam Juni yang berangin dan cukup terasa dingin, hampir 3 tahun yang lalu. sedikit biasa, bersalaman, saling tatap, tebar pesona lewat senyuman termanis, dan seterusnya dan seterusnya. Bukanlah temasuk “love at the first sight” pada awalnya. Hanya sedikit banyak mengagumi, karena tak bisa dipungkiri, dia amat menarik secara fisik. Amat sangat tipe dambaan, tinggi tegap (walaupun tidak setegap tentara tentunya), wajah yang menyenangkan, 80% “ya” nilaiku untuknya. Boleh-lah, lucu juga diajak jalan (pikirku selintas). Dan harus kuakui, entah kenapa, tak kumengerti, ada getar aneh yang tak bisa ku interpretasikan dengan jelas. Aku seakan merasa sangat yakin terhadap sesuatu yang belum jelas. Mungkin hanya perasaan tunggal dariku seorang, atau memang ada daya tarik-menarik dari kedua belah pihak yang berlangsung dengan caranya sendiri, aku tak tahu. Kesannya tak terdefinisi, bahkan oleh nalar. Amat rumit, tapi menyakinkan.
Seperti layaknya orang yang saling tertarik (mungkin), kami sering “keep in touch” lewat sms dan telepon, saling bertanya kabar, kegiatan yang sedang dilakukan, atau hal basa-basi yang kemungkinan besar paling basi yang biasa dilakukan dua insan yang sedang dalam tahap “pedekate”. Sinyal kami tampak saling tersambungkan, indah... Cerita dalam percakapan meningkat berkisar masalah yang cukup pribadi, tentang keluarga, serta kebiasaan-kebiasaan diri. Sangat melambat, namun penuh arti. Selalu membuat berbunga-bunga dan membumbungkan harapan makin tinggi. Pada saat itu, aku semakin yakin, ihwal jatuh hati-ku padanya.
Selang beberapa lama, topik obrolan kami lebih dalam lagi, menyinggung masalah masa depan, menikah. Walau yang dia sampaikan hanya tersirat, tak menegaskan makna yang sebenarnya, tapi jelas terbaca. Aku amat senang tak terperi membayangkan kapan saat itu tiba, bersama dia, benar-benar mimpi jadi nyata. Hanya saja, ada satu masalah yang dari awal sangat mengganjal di hati. Yang walaupun berusaha tak ku indahkan tetapi selalu mengusik dan menggelitik rasa penasaranku. Hal itu penting tak penting, tak perlu tapi perlu, yakni masalah kejelasan status, sebuah Komitmen. Dia tak pernah dengan jelas menegaskan tentang hubungan kami, memang tak cukup penting ketika semua tindak tanduknya sangat menjelaskan bagaimana sebenarnya perasaan dia terhadapku, perhatian, memuji-muji, kelewat baik hati dan menentramkan, tapi ternyata, itu tak cukup bagi hampir semua wanita kebanyakan, termasuk aku. Boleh saja jika aku dibilang wanita yang tak pernah puas, egois, atau apapun sebutan yang buruk-buruk, aku tidak terlalu peduli. Aku hanya ingin dia dengan lantang mengutarakan rasa-nya terhadapku. Aku ingin tahu, sangat! Apa yang dia rasa terhadapku. Aku pikir itu keinginan yang tidak berlebihan.... beberapa bulan lewatlah lagi, meninggalkan kami di belakang, yang masih berkutat dengan keadaan yang tetap sama, menggantung.
Aku mulai merasa gundah, tak yakin, dan sedikit sebal terhadap kenyataan. Walau dia selalu baik dan kadarnya makin bertambah setidaknya menurut pengamatanku, resahku tetap saja tak semudah itu dihalau. Ego-ku sebagai wanita memainkan perannya, pikirku selalu : “tak mungkin aku mendahului dia untuk menyatakan rasa-ku padanya, dia laki-laki, seharusnya dia yang mengambil langkah dan inisiatif lebih dulu, wanita sedianya hanya menunggu.” Selalu begitu pikirku, mencegah tindakan untuk memberi dia sebuah pernyataan, atau setidaknya pancingan-pancingan yang mengarah pada hal itu.
Aku menjadi asing terhadapnya, kesadaran begitu lambat menyeruak, bahwasanya tak secuilpun fakta yang aku tahu tentangnya. Semua percakapan hanya berkutat pada masalah tak penting yang dilakukan untuk sekedar membuka topik pembicaraan. Betapa tiba-tiba hatiku hampa disodorkan pada realita seperti itu. Aku sedih, karena tampaknya, hatiku semakin condong padanya, namun selalu serba ketidakpastian yang dia berikan, di tengah perhatian dan kebaikannya yang dia beri dengan bertubi-tubi. Setan alas!!! Aku benar-benar lelah, penantianku nampaknya akan panjang, dan sedihnya, “ending” nya pun sama tak jelasnya dengan proses awal yang kala itu sedang kujalani.
Berpuluh-puluh puisi gubahanku tentangnya, beribu-ribu kata tertuang dengan deras dalam diari-ku. Semua membicarakan dia, semua menempatkan dia sebagai pusat perhatian, dan memang begitulah adanya. Tanpa kusimpulkan pun, aku sudah tahu, bahwa dia memang telah merenggut penuh perhatianku, hanya kepadanya...
Pertemuan kami selanjutnya mungkin memang telah digariskan oleh-Nya khusus untuk kami. Masih indah, walau ada roman-roman yang sedikit mengganggu yang datang dari diriku, yakni kemunculanku yang boleh dibilang sangat kelewat terlambat. Tapi dia pengertian, menunjukkan sikap penuh perhatian dan penuh maaf dalam air mukanya. Aku suka, amat menyukai bahkan secuil pun, asal semua bersumber dari dirinya. Gila-lah sudah rasa-ku padanya, dalam... bahkan sampai tak kuketahui kedalamannya.
Pertemuan kami singkat, masih sama, amat basa-basi dan tak terlalu berjalan seperti harapanku. Walaupun aku tak kecewa (karena bagaimana bisa kekecewaan menghampiriku saat aku tahu pasti dia adalah sumber kesenanganku?), beberapa jam yang aneh namun membuat betah, melambungkan lagi harapanku, lebih tinggi! Ya Tuhan.... tenyata begitulah perasaanku... mendebarkan, melenakan, sekaligus membuat cemas! Tapi kadang kadar kecemasannya jauh lebih besar dari yang kuduga,,, lagi-lagi aku banyak menuntut! Sekali lagi aku ingin ketegasan disini! Pernyataan yang menyakinkan! Hanya saja kembali luput, tak ada apa-apa terjadi.
Hari esoknya merupakan awal dari mimpi burukku, yang selalu membuatku menyesal tak terperi, yang merubah sebuah takdir baik yang mungkin tadinya sedang mendekat, kini lenyap. Dengan kata-kata pedas, aku tuturkan keputusan sepihak untuk tidak akan mengenal dirinya dalam hidupku. Sebuah keputusan yang amat munafik, penuh kebohongan, juga keangkuhan. Hanya memuaskan egoku sementara, yang sebenarnya telah putus asa terhadap ketidakpastian terhadap jalinan ini.
Kupikir tadinya dengan keputusan “sok tegas” itu, aku akan terbebas dari belenggu ketidakpastian yang kurasa makin menggerogoti sebuah jalinan yang aneh ini. Aku masih dengan pongahnya berpikir kalau dia tak cukup berharga untuk kutunggu, dan bahwasanya aku pasti dapat menghapus semua cerita tentangnya dengan mudah, dan menemukan arjuna lain yang memang pantas untukku. Ternyata, tak seperti yang kukira. Perasaan adalah suatu anugerah sekaligus bencana dari Sang Pencipta, yang kemunculan atau kepergiannya tak pernah bisa ditebak. Alih-alih melupakan dia, aku malah merasa nelangsa tak terperi! Malam-malamku masih memutar kilasan bayangannya, menayangkan mimpi-mimpi tentangnya, memunculkan sosoknya di bawah sadarku.... aku merasa lebih tersiksa, jauh daripada sebelumnya! Dan Tuhan tak mau memberikan kemudahan bagiku untuk melupakannya!
Setahun melintas dengan cepat, sedikit banyak aku bisa bersikap lebih realistis dan mulai menjalani hidup sebisa mungkin, normal. Dalam perjalanan menuju “normal” tersebut, datanglah aktor baru dalam kisahku, sosok lain, yang mungkin bisa mengisi lubang dalam jiwaku, yang sudah terlanjur tercipta tanpa bisa kupulihkan lagi. Dia menarik, lebih matang, dan lebih terbuka. Aku belajar darinya, bagaimana mengekspresikan perasaan hati dengan lantang dan lebih ekspresif. Bersamanya, aku serasa diajari bagaimana caranya menjadi diri sendiri dan belajar jujur terhadap diri sendiri. Mungkin karismanya cukup membuatku nyaman, “setidaknya ternyata hatiku masih terbuka untuk pria lain!” pikirku saat itu. Jalinan kami terasa sangat “benar” dan kupikir, saatnya untuk serius, berpikir menjalin hubungan serius, dan menerima tanggung jawab yang lebih besar sebagai proses penempaan kedewasaanku...menikah... dia menjanjikan komitmen yang jelas (walau dia kadang terdengar sedikit ragu dengan pernyataanya sendiri), membuatku merasa dihargai sebagai wanita.
Kedekatan kami bisa dibilang agak sedikit tergesa-gesa. Berkenalan, lalu langsung menyatakan ketertarikan satu sama lain, membuatku merasa sedikit bertanya-tanya. Mengapa tak ada getaran aneh dalam hatiku? Aku merasa biasa saja menjalaninya, terasa agak hambar...tapi logika ku bermain, tak ada salahnya untuk dicoba, pikirku. Maka berlanjutlah, hingga setengah tahun berikutnya. Dalam kurun waktu itu, aku selalu mencoba menerima dia dengan segenap hati, belajar lebih membuka hati padanya, hanya saja, tak bisa kurasa geletar hati yang dalam, tak pernah kurasakan pembuluh darahku berdesir saat bersamanya. Ada sesuatu yang tak terkoneksi antara aku dengannya, meski gombalan-gombalan selalu dia lancarkan, dan jaminan komitmen masa depan dia janjikan, tetap saja aku tak pernah bisa memungkiri rasa...
Enam bulan menurut hitunganku, tepatnya tengah Desember yang tak hujan, terjadilah hal itu. Peristiwa titik balik yang aku sebut dengan karma. Dia berubah dengan cepat dan pasti, tak lagi kurasa kesungguhan yang dulu dia tawarkan, tak terasa lagi yakin hatiku terhadap semuanya, semua menguap, hanya dalam hitungan jam... dia memutuskan jalinan secara sepihak, tanpa penjelasan, tanpa basa-basi, yang anehnya tak kusesali. Tangisku pecah bukan karena kesedihan mendalam karena ditinggalkan, tetapi karena kesadaran tiba-tiba akan karma yang kudapat. Bukan arjuna baru itu yang kuingat, justru emosiku menghambur karena ingatanku yang mengalir cepat, padanya... sosok sebelumnya yang dulu sudah melumpuhkan sukmaku... dia... ternyata sama persis dengan apa yang telah kulakukan padanya, akhirnya terjadi padaku tanpa tedeng aling-aling... dan ternyata bisa kurasakan bagaimana sakit hatinya.... lalu aku lunglai dengan penemuanku itu...
Hari-hari dalam kesendirianku terasa lebih kelam. Laku-ku amat skeptis dan acuh terhadap hidup. Yang kuingat hanya dia... sesal menguasai rasa-ku, menangis dan menangis, itulah hobi yang tiba-tiba senang kulakukan. Semua kenangan tentangnya seakan ber-flashback ria di otakku, menari-nari, membuat tangisku pecah lebih gila dari yang pernah kulakukan. Dia merajai lagi perasaanku yang sudah susah payah kusembunyikan. Kotak pandora telah terbuka, dan isinya terserak keluar, membuncah, berantakan...
Aku merasa amat bodoh, sesalku bahkan tak berharga dibanding apa telah yang kulakukan terhadapnya. Betapa tololnya aku, betapa hinanya aku, betapa bebalnya aku, sesal selalu tak berguna kemudian... mungkin dia kini telah menumbuhkan bunga di hati yang lain selepasnya aku, mungkin tak kan pernah mungkin asa-ku tumbuh subur lagi setelah aku mematikan kesempatanku dengannya... aku hanya bisa nrimo, aku merasa pantas menuai hasil ini pada akhirnya, setidaknya untuk menghapus rasa bersalahku padanya yang amat menyiksa...
Satu harapanku terhadapnya, yang mungkin sudah terlalu terlambat untuk diungkapkan, yakni pertanyaan : “pernahkan dulu kamu menyimpan rasa untukku barang sedikit?” apapun jawabannya terhadap tanya ini, akan kuterima dengan dada lapang, karena seperti kutipan sebuah majalah dari sumber anonymous , dikatakan bahwa “lebih baik mengetahui apa yang sangat ingin kita tahu, daripada mengetahui kenyataan”... apapun yang terjadi, terjadilah... semoga aku bisa menerima apa pun itu kenyataannya,,,, dengan lega hati....

- The End –

Sukabumi, 31 Des 09 - 21 Januari 10

selalu dia

Merana lagi dengan sendiriku yang seperti tak pernah ada habisnya...
Hari-hari terasa hambar
Malam yang disusul pagi yang selanjutnya beranjak siang yang dijemput sore
Waktu hanya kuhabiskan tanpa kusadari, seolah aku bukanlah bagian darinya
Apa yang kutunggu? Jika dirimu telah luput dari harapan dan terbentanglah kekosongan di sekelilingku
Apa yang ku mau? Jika bahkan semua keinginan telah dikikis dengan kejamnya oleh kenyataan
Lama sekali.... seakan kisah tentangmu hanya berasal dari dongeng belaka
Rasaku tak terdefinisi, apakah ia masih bisa merasa dengan benar, aku tak tahu
Semua tentangmu telah membuatku gila!
Bahkan jauh lebih gila dari para penghuni RSJ
Berusaha realistis dan keep on going selalu kucoba
dari semula memang kukerahkan sebisa mungkin usaha untuk menghapusmu, menghapus sayang yang menyiksa ini
Apa dayaku jika tak bisa... tak ada siapapun yang bisa kusalahkan dengan keadaan ini
Bila rasa tak pernah salah, lantas tidakkah salah jika aku selalu mengusung kecenderungan hati padamu?
Jika cinta selalu benar, sebenar apakah cinta yang kupunya untukmu?
Otakku yang menyimpan berjuta memori, anehnya selalu otomatis menyimpan kenanganmu di tempat terbaik, di tumpukan tertinggi
Huh!!! Aku merasa menjadi amat melankolis dengan semua ini
Mencintamu membuatku lemah
Menyukaimu membuatku tak bisa berpaling
Mendambamu membuatku merasa seperti di ambang hidup dan mati
Aku benci, tapi tak bisa pergi
Aku lelah, tapi tak bisa henti
Karena kamu telah terlanjur membawa lebih dari separuh kewarasanku bersamamu
Jadi, pungutlah aku agar bisa utuh lagi
Tolehlah aku duhai penguasa hatiku!!!
Aku ingin bersamamu selalu, dalam buana nyata penuh warna...